Rabu, 13 Agustus 2008

makna 100 tahun kebangkitan bangsa

Sejenak mari kita melihat ke belakang dan membuka lembaran sejarah satu persatu. Sejarah selalu menjadi bagian yang terpenting untuk mengetahui perkembangan peradaban bangsa ini. Seperti 100 tahun lalu, lahirnya organisasi Budi Oetomo merupakan bukti bahwa peran pemuda masih amat penting dalam membangun bangsa. Setelah itu, organisasi di daerah lain pun bermunculan. Gerakan perlawanan terus saja dilakukan di tiap daerah. Inilah tonggak awal lahirnya semangat kepemudaan dalam membangun bangsa.

100 tahun telah berlalu, kini semua telah berubah. Perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda telah selesai. Kemerdekaan yang didambakan juga telah diraih. Namun, hal yang masih menjadi pertanyaan mendasar, apakah kemerdekaan ini menandakan kebangkitan pemudanya? Menjawab pertanyaan itu tentu memeras otak kita. Tiap orang punya jawaban yang berbeda. Sebagian yang melihat secara awam akan berkata, kita sudahmerdeka dan pemudanya pun makin maju. sebagian yang lain akan berujar bahwa sampai detik ini kita belum merdeka karena pemudanya masih terjajah. Apa negara kita masih dijajah dan pemudanya belum bangkit?
Semangat untuk bangkit terus disuarakan oleh generasi bangsa. Namun di satu sisi, arus besar bernama globalisasi terus menggerogoti bangsa ini dan kapitalisme telah mendarah daging. Generasi yang diharapkan jadi tombak perlawanan malah menjadi kroco. Jadilah negeri ini seperti negeri yang utopis. Berada dalam persimpangan yang tak menentu. Generasi pelopor sedikit demi sedikit tergerus modernisasi salah kaprah.

Kita paham dan tahu betul bahwa rezim Soeharto telah ditumbangkan oleh parlemen jalanan anak muda. Sayangnya semangat itu hanya berarti pada saat itu, kemudian hilang tak bermakna. Rezim orde baru memang sudah tumbang. Tapi, reformasi yang terjadi 10 tahun lalu sepertinya belum berarti apa-apa. Enam visi reformasi belum ditunaikan sepenuhnya. Rezim yang berkuasa masih bersifat otoriter. Korupsi masih merajalela dan prilaku KKN di lingkup birokrat tak bisa dihindari. Zaman memang telah berubah, namun sifat dan penyakit masih bercokol di tempat yang sama.

Ironinya, upaya pemerintah yang kembali menaikkan harga BBM. Padahal jumlah rakyat miskin di negeri ini sampai 37,17 juta jiwa dari 230 juta warga indonesia. Bisa dibayangkan betapa penderitaan rakyat akan makin besar dengan kenaikan BBM ini. Kucuran Dana BLT malah membuat penyakit baru. Kemalasan dan penanaman mental pengemis. Nasib nelayan, petani dan buruh yang makin tak menentu. ”Seperti terjual dan terhinakan di negeri sendiri”, begitulah kita mengiaskan nasib sebagian besar rakyat miskin di negeri ini. Sementara di satu sisi, pejabat dan birokrasi terus menghambur-hamburkan uang untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan kampanye pemilihan kepala daerah.

Mari kita renungkan, betapa negeri ini makin tak menentu. Kebijakan ekonomi yang selalu berpihakkaum borjuis, pengusaha dan pemodal asing. Pendidikan yang mahal, upaya pemberlakuan BHP yang terus diusahakan pemerintah dan angka korupsi terus meningkat tanpa bisa dikendalikan. lihat saja, menurut Transparancy International Indonesia diletakkan di nomor 6 –hanya turun 2 tingkat dari tahun lalu yang berada pada nomor 4 memiliki angka korupsi tertinggi. Jadilah rakyat tergusur di negeri sendiri. Ironisnya, pemuda sebagai pelopor pergerakan, perlawanan dan sosial kontrol sebagian besar hanya diam dan belum mampu bergerak untuk perubahan bangsa.

Semangat hari kebangkitan yang telah 100 tahun harusnya jadi pemicu untuk bisa bangkit. Bukan menjadi benalu. Apalagi kegagalan reformasi menjadi tanggung jawab kita. Sebab, generasi muda yang telah memulai awal kebangkitan ini. Semoga kita tak menjadi bagian dari pemuda yang hanya bisa berdiam diri.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by Gold Mining News. Powered by Blogger